



“Dalam pengangkutan batu bara ini kan ada peraturannya. Nah, untuk menerobos aturan tersebut agar mempermudah dan mempelancar kegiatan pengangkutan batu bara, makanya ada pemberian-pemberian fee tersebut. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tipikor jelas sudah tercantum, kalau untuk fee tersebut adalah perbuatan dugaan korupsi,” jelasnya.
Lebih jauh dikatakan Sri Sulastri, pengangkutan batu bara yang didasari kerjasama antara BUMD dan perusahaan swasta merupakan kegiatan bisnis. Bahkan ia menilai dalam dugaan kasus tersebut ada kaitannya dengan pihak Pemda.
“Ini kan terkait kegiatan bisnis di BUMD, jadi saya menilai ada kaitannya dengan pihak Pemda. Nah terkait soal bisnis ini, ada suatu penelitian tentang fee. Dimana apabila suatu kegiatan bisnis yang dijalankan menggunakan fasilitas sesuai tahapan aturan yang berlaku, maka hasil bisnisnya akan tertinggal jauh atau ruginya banyak. Kemudian apabila dalam kegiatan tersebut dilakukan pemberian fee maka hasil bisnisnya mendapat untung banyak. Misalnya, dengan memberikan fee Rp 1 miliar maka akan mendapatkan hasil Rp 10 miliar,” papar Sri Sulastri.
Untuk itulah, Sri Sulastri juga menilai, jika dalam dugaan kasus korupsi tersebut pemberian fee dilakukan bisa saja terkait volume pengangkutan batu bara.
“Contohnya, ada suatu kegiatan pengangkutan batu bara yang sesuai aturan berlaku jumlah volume batu bara yang diangkut yakni hanya sebatas 5 ton saja, tidak boleh lebih. Tapi karena adanya pemberian fee, maka diberikan kemudahan dengan menaikan jumlah volume batu bara yang diangkut menjadi 10 ton atau lebih hingga diangkut menggunakan tongkang yang besar. Dari segi bisnis yakni untuk mendapatkan keuntungan besar, namun karena adanya pemberian fee maka itu merupakan perbuatan dugaan tindak pidana korupsi, dan saya yakin pasti KPK mengejarnya,” ungkapnya. HALAMAN SELANJUTNYA>>

