



Ia juga mengingatkan bahwa laki-laki pekerja film memiliki potensi menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual sehingga dibutuhkan pula dukungan dari pihak laki-laki. Hikmat juga mendorong agar laki-laki pekerja film lebih berkomitmen terhadap ruang aman tersebut.
“Beruntung sekarang sudah ada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), itu bisa diadopsi lebih kuat lagi di dalam industri film. … Tapi ini kan puluhan tahun, ya, menjadi ruang tidak aman bagi perempuan, jadi masih banyak pekerjaan rumahnya untuk mengimplementasikan TPKS itu ke dalam kehidupan profesional perfilman kita,” kata Hikmat.
Terkait penciptaan pasar majemuk, ia berpendapat perlunya industri film untuk mendorong jalur distribusi film yang mengakomodasi keragaman pasar. Hal ini bertujuan agar suara alternatif, termasuk suara perempuan, memiliki posisi yang kuat ketika muncul di pasar perfilman.
“Keragaman itu kata kunci kemajuan sebuah industri film. Lihat Hollywood atau Eropa bagaimana. Keragaman itu sesuatu yang krusial bagi kemajuan industri film. Jika tidak, pasti ada titik jenuh pasar,” ujarnya.
Hikmat menilai saat ini pasar perfilman Indonesia masih bersifat tunggal. Sebagai contoh, ruang putar bioskop masih berpusat pada wilayah Jabodetabek dan biasanya terletak di dalam mall. HALAMAN SELANJUTNYA>>

