



Namun, terhadap mereka yang bukan pelaku utama suatu tindak pidana korupsi, keadilan restoratif masih bisa diberikan secara selektif. Misalnya, dengan memperhitungkan faktor nilai kerugian yang tidak signifikan atau terlalu kecil dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan negara untuk memprosesnya. Terhadap pelaku utama tindak pidana korupsi, tentu perlu dihukum lebih berat agar menjadi efek jera terhadap pelaku atau calon pelaku kejahatan luar biasa itu.
Selain itu, restorative justice diharapkan tidak melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia, namun mempercepat pemulihan kerugian negara. Sehubungan itu, Sitepu menyebutkan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku, perlu menjadi acuan seandainya restorative justice ke depan diterapkan untuk kasus kejahatan korupsi.
Sementara itu, pengamat hukum dari FH Unila Lampung Dr. Yusdianto menyebutkan wacana pemberian keadilan restoratif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dikaji secara akademik, terutama menyangkut regulasi.
Meski demikian, ia mengkritik adanya wacana restorative justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Bisa jadi tindak pidana korupsi di Indonesia bukan kian menurun, melainkan kian meningkat apalagi pelaku tidak hanya dari eksekutif tapi ada dari yudikatif dan legislatif.
Keadilan restoratif seharusnya ditekankan secara selektif dengan definisi jelas atas suatu tindak pidana umum yang diselesaikan di luar pengadilan. Dikhawatirkan pemberian restorative justice akan membuat lemah upaya pemberantasan korupsi. Sebagai ide, wacana tersebut perlu diapresiasi.
Namun, jika ingin diimplementasikan, perlu menempuh jalan panjang terutama menyangkut perubahan regulasi yang berkaitan dengan korupsi.
Wacana keadilan restoratif yang kini muncul tidak perlu buru-buru dipadamkan. Namun, perlu dikaji lebih cermat lagi bersamaan dengan upaya pidana bersifat retributif atau pembalasan sesuai kejahatan pelaku karena kasus-kasus korupsi di Indonesia terus terjadi dan kerugian negara pun masih sulit dikembalikan seluruhnya.
Namun, satu prinsip yang tidak boleh dikompromikan, tidak ada tempat bagi pelaku utama tindak pidana korupsi untuk mendapatkan penyelesaian perkara dengan skema keadilan restoratif.
Dalam skala apa pun, korupsi tetaplah kejahatan luar biasa sehingga tidak ada kompromi terhadapnya. Jadi, penerapan keadilan restoratif bukan cara bijak memberantas korupsi di negeri ini. (Antara/ded)

